sasaran dakwah ( Mad'u)



SASARAN DAKWAH (MAD’U)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu :
Bpk. Study Rizal LK, Drs, MA

Disusun oleh :
Anhar (111505300000)
Zulfa Aenun Nisa (11150530000064)
Silvia Azizah (111505300000)

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan Karunia, Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah yang berjudul
SASARAN DAKWAH (MAD’U) ‘ dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabat serta tak lupa pula kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir zaman. Aamiin.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Filsafat Dakwah. Kami  berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bisa memberikan informasi mengenai sasaran dakwah yaitu mad’u dan bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih.




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  ··················································································  i
DAFTAR ISI  ······························································································  ii
BAB I PENDAHULUAN  ·············································································  1
a.     Latar Belakang Masalah  ·································································  1
b.     Rumusan Masalah  ··········································································  1

BAB II PEMBAHASAN  ··············································································  2
a.     Mad’u sebagai Sentral Dakwah  ······················································  2
b.     Hak- hak Mad’u ··············································································  5
BAB III PENUTUP
Kesimpulan  ························································································  7
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
                   Pemahaman jati diri mad’u sebagai manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya menjadi sangat penting dalam konteks dakwah untuk selanjutnya dapat dirumuskan beberapa pendekatan dan metode yang tepat. Filsafat dakwah mermuskannya dan mengujinya secara empiris dilapangan. Disadari keberadaan mad’u mempengaruhi aspek-aspek lain dalam proses dakawah. Oleh karena itu, makalah ini dibuat sehingga mempermudah para da’i dalam mengetahui tipologi dan klasifikasi masyarakat serta kemampuan berfikir terhadap sasaran dakwah secara tepat. Sebab setiap sasaran atau objek dakwah memiliki suatu ciri-ciri tersendiri yang memperlukan suatu kebijakan dakwah dalam penyampaiannya. Bagaimana peran mad’u sebagai sentral dakwah dan apa sajakah hak-hak yang dimiliki oleh mad’u ?
  1. Rumusan Masalah
1.                   Bagaimana posisi Mad’u Sebagai Sentral Dakwah ?
2.                   Apa saja Hak- Hak Mad’u ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Mad'u sebagai Sentral Dakwah
Salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalu dakwah adalah pemberdayaan masyarakat agar menjadi lebih baik dari aspek keimanan dan ibadah semata. Maka kepentingan dakwah itu berpusat kepada apa yang dibutuhkan oleh masyarakat atau komunitas (mad'u), dan bukan kepada apa yang dikehendaki oleh pelaku dakwah (dai). Untuk mencapai hal tersebut maka seorang dai perlu mengerti tentang aspek- aspek yang menjadi kebutuhan mad'u dalam suatu komunitas, termasuk tingkat kemampuan intelektual mereka, kondisi psikologis serta problematika yang melingkupi kehidupan masyarakat di tempat dan zaman tempat mereka berada. Aspek ini lah yang yang menjadikan dakwah bukan hanya semata-mata tablig, yaitu kegiatan penyampaian dan transformasi sosial dan  kultural melalui rekayasa sosial yang intens. Sementara perubahan dan transformasi sosial ini tidak dapat berlangsung, tanpa memperhatikan kondisi objektif sasaran dakwah (mad'u ) dalam semua aspeknya.
 Dalam al- Qur'an, keharusan menjadikan mad'u sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai suatu strategi menjelaskan pesan- pesan agama. Al- Qur'an menggunakan redaksi al-lisan, sebagai suatu simbol yang mengacu pada aspek kemanusian (humanitas ) mad'u. Perhatikan firman Allah SWT dalam Q.S Ibrahim/14: 4)
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqß§ žwÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% šúÎiüt7ãŠÏ9 öNçlm; ( @ÅÒãŠsù ª!$# `tB âä!$t±o Ïôgtƒur `tB âä!$t±o 4 uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÍÈ  
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan lisan kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Kebanyakan mufasir, baik klasik maupun kotemporer memang mengartikan kata al-lisan sebagai bahasa. Namun demikian pemahaman ini dapat didefinisikan lebih luas lagi. Pengertian al- lisan menurut beberapa ahli tafsir :
1. Abdullah Yusuf Ali
Pengertian lisan itu tidak hanya diartikan sebatas kata- kata, huruf atau abjad sebagai materi inti bahasa. Lebih dari itu, lisan di sini menyangkut problematika kehidupan pada suatu masa, kecenderungan psikologi mereka dan tingkat pemikirannya. Menurut beliau Al-Qur'an memiliki pandangan yang sangat maju dan manusiawi. Didalam dakwah Al- Qur'an hal ini kelihatan sekalu menitik beratkan kepada kapasitas dan penerimaan mad'unya.
2. Menurut M. Quraish Shihab
Menurut beliau al-lisan memang diartikan bahasa, namun pemaknaan ini merupakan simbol dari arti yang lebih luas, yaitu pandangan hidup (pemikiran), psikologi, dan problematika sosial. Demikian itu, karena bahasa selain berfungsi sebagai alat komunikasi, juga merupakan cerminan pemikiran dan pandangan penggunaan bahasa itu.
3. Maha guru tafsir al- Razi
Mengartikan al-lisan sebagai bahasa, namun demikian kata al-Razi, penggunaan redaksi itu hanya sebatas terminologi saja, bukan suatu kemutlakan makna. Jika diperdalam, keterangan al- Razi itu mengisyaratkan bahwa pengutusan setiap rosul dengan lisan kaumnya berarti pula mencakup semua aspek yang terkait dengan kehidupan mereka. Tujuannya agar pesan agama itu lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh umat.
Senada dengan al- Razi, Quraish Shihab juga menegaskan bahwa dakwah itu mesti memperhatikan aspek- aspek yang terkait dengan kemanusian mad'u . Karena mad'u sebagai sentral, maka dakwah yang alpa dari aspek- aspek kemanusian mad'u tidak akan berkenan dalam hati dan pikiran masyarakat. Untuk memposisikan mad'u sebagai sentral dakwah, maka tiga hal berikut perlu diperhatikan.
Pertama, dakwah perlu memperhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat. Dakwah ber tujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada umat manusia. Sementara dilain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya berbeda. Perbedaan ini ditentukan oleh banyak variabel, diantaranya tingkat kemajuan budaya dan peradaban masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang maju sederhana dan bersahaja memahami sesuatu secara mudah (simplikasi) dan apa adanya. Sedangkan masyarakat dengan tingkat budaya dan peradaban yang lebih maju. Dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi, masyarakat yang lebih berkebudayaan cenderung lebih tinggi, masyarakatnya cenderung memahami agama secara lebih kompleks.
Disisi lain agama memiliki watak universal ;ia diturunkan sebagai petunjuk bagi semua kelompok masyarakat baik yang sederhana maupun yang berperadaban. Karena itu dakwah harus berwatak fleksibel, maksudnya dakwah itu harus mampu mengakomodasi tingkat pengetahuan atau intelektual umat dimana saja. Bagi masyarakat yang masih sederhana, fokus utama dakwah terutama bagaimana mengembangkan potensi keadaban dan humanitas mereka. Contoh konkret dalam hal ini adalah dakwah Rosulullah terhadap masyarakat Arab. Adapun bagi masyarakat yang sudah maju, fokus utama dakwah adalah mengarahkan kemajuan dan keadaban itu agar selaras dan tetap berpijak pada nilai- nilai agama dan kemanusiaan.
Kedua, dakwah harus memperhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologi) suatu masyarakat. Kondisi kejiwaan suatu masyarakat memiliki korelasi erat dengan setiap kejadian atau peristiwa yang dialami, baik yang terkait dengan kondisi alam atau sosial. Dampak dari suatu peristiwa tersebut akan terakumulatif dalan tempo yang relatif lama dan membentuk suasana psikologi tersendiri yang mencirikan kekhasan suatu kelompok masyarakat. Karena itu dipandang dari sudut kejiwaanya, maka setiap kelompok masyarakat adalah unik, sehingga dakwah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif, adalah dakwah yang dapat memahami keunikan psikologis setiap umat, dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka dalam dimensi ruang dan waktu.
Dalam kondisi demikian maka pemilihan materi dakwah menjadi urgen yang perlu dipilirkan dan dipersiapkan sebaik- baiknya. Penyesuain materi dakwah terkait dengan kondisi psikologi suatu ummat tidak hanya dilihat dari sisi benar atau tidak benar, tetapi perlu pula dilihat dari sisi tepat atau tidak tepat. Selain materi pilihan metode yang tepat, juga berperan dalam menentukan leberhasialan dakwah. Materi yang benar tetapi disampaikan dengan metode yang tidak tepat bisa menimbulkan fitnah.
Ketiga, dakwah perlu memperhatikan problematika kekinian yang dihadapi masyarakat. Risalah islam diturunkan dengan kepentingan merespon masalah- masalah umat manusia dan membantu mencari jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak kepada muatan nilai- nilai moral dan ketuhanan. Karena itu maka dalam pelaksanaanya, dakwah haruslah berwatak komunikatif dan interaktif. Komunikatif berarti dakwah harus memahami dan merespons setiap problematika umat. Karena itu, dakwah tidak boleh bungkam ketika dihadapkan kepada persoalan- persoalan kemanusiaan mutakhir semakin kompleks. Dakwah dituntut untuk dapat memberikan pandangannya tentang persoalan- persoalan ini melalui paradigma moralitas dan nilai- nilai illahiah yang dimilikinya. Interaktif, berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok kepentingan dalam rangka memcari solusi kreatif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problem sosial yang dihadapi umat serta ikut menciptakan minset  baru untuk membawa umat menunju perubahan dan kemajuan yang diharapkan.
Dakwah juga mesti berwatak kekinian dan kesinian. Masalah yang dihadapi umat dahulu dan sekarang sudah pasti berbeda sehingga memiliki solusi yang berbeda juga. Karena itu dakwah yang manusia harus menjahui unsur pemaksaan.
Termasuk kedalam pengertian mad'u  sebagai sentral dakwah, adalah usaha dakwah yang dinamis dan progresif. Bentuk konkret dari usaha dinamis dan progresif adalah ijtihad, selalu berusaha mencari solusi dan jalan keluar dari problem- problem mutakhir yang dihadapi umat dengan logika baru.
Gagasan dakwah yang menempatkan mad'u sebagai sentral menghendaki dakwah yang empatik, simpati,dan humanitas sekaligus. Empati dan simpati dalam dakwah menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi mad'u. Adapun dakwah humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusian mad'u secara utuh, baik pemikirannya, kejiwaanya, maupun problematika. Problematika terhadap aspek- aspek tersebut, hampir dapat dipastikan menjadikan dakwah kurang efektif, untuk tidak mengatakan kemubadziran, lantaran tidak dibutuhkan mad'u  karena tidak membawa manfaat apa pun. Dakwah seperti ini bukannya membawa kemajuan tetapi justru bisa membawa kerugian.
B. Hak-hak Mad’u
            Dakwah islam condong kepada prinsip humanisme. Logika ini ditarik lebih jauh  dikaitkan dengan hak-hak mad’u, maka sesungguhnya  bukan lah hal yang lain dari hak-hak madu. Persoalan ditinjau dari dua aspek yaitu hak hubungan sosial antarpribadi dan hak hubungan antar keterkaitan komunikasi. Ada pun hak dalam  dua aspek menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling respons  serta saling pengertian .
            Dalam teori ilmu sosial dijelaskan kelanggengan suatu hubungan natural dalam masyarakat terkait suatu kontrak tak tertulis. Suatu hubungan sosial terjalin saat kontrak ini telah disepakati atas dasar ketulusan komitmen masing masing pihak sebagai suatu konsekuensi logis darinya.
            Hubungan sehat antar personal ditentukan oleh masing masing pihak mampu menciptakan situasi pergaulan yang akrab dan hangat. Tujuan nya untuk terjalin suatu komunikasi yang terbuka dalam suatu hubungan kesateraan tanpa unsur hierarakris. Hal ini terbillang beberapa pertimbangan
            Pertama , secara pisikologis orang hanya akan mau membuka diri dengan orang yang benar-benar mengetahui latar belakangnya. Kedua, ketiadaan jarak antara hubungan  tumbuhnya selera untuk menjalain keakraban dan kedekatan dalam pergaulan. Ketiga, kedekatan atau keakraban adalah implikasi logis yang terlahir dari sikap empatis dan simpatik. Sikap itu untuk memungkinkan kesetaraan hubungan yang mampu menetapkan dari pribadi pada posisi orang lain secara timbal balik
            Dalam prinsip komunikasi dikenal juga kaidah hubungan ketergantungan yang menegaskan pada dasarnya manusia memiliki hak untuk didengar,tetapi disisi lain ia  juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan orang lain. Keberlanggsungan komunikasi ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak mampu menenggang dan memberi peluang orang lain untuk mendapatkan haknya. Pada dasarnya komunikasi berlanggsung suatu pola ketergantungan antara partisipasi dan pengertian. Tanpa adanya kesadaran komunikasi akan berakhir, dan itu merupakan sebuah kegagalan dalam proses komunikasi.
Terkait dengan persoalan hak-hak mad’u , maka apa yang dijelaskan melalui teori sosial tentang keharusan hubungan yang kondusif syarat keberlangsungan sebuah kontrak sosial, sangat releven dengan praktik dakwah nabi dengan membentuk piagam tertulis madinah yang menjadikan asas dalam pembentukan masyarakat sipil melalui sebuah kontrak sosial yang mengikuti semua golongan
   Secara  adil hak-hak mad’u yang terdiri dari kelompok non muslim ahlul kitab
1. memperoleh pengakuan hak-hak asasi mereka selaku manusia seperti kebebasan untuk berkeyakinan dan berpegang pada  keyakinanya itu
2. hak hak mereka diakui untuk menuntut kerugian akibat perlakuan yang tidak baik pada mereka dan juga hak-hak asasi manusia pada umumnya
Penjelasan bahwa pemahaman hak pertama  dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya  adalah akses menuju hubungan sosial yang kondusif serta mebuka peluang terciptanya kebebasan dalam menyampaikan dakwah itu sendiri. Memberi  kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah sesuai prinsip  kebebasan agama yang diajarkan oleh islam.
Keakraban dan pergaulan hanya memungkinkan diwujudkan melalui hubungan yang intesif antara dai dan mad’u  pendekatan kearah keintesifnya hubungan ini bisa terjalin bilamana keduanya terkait dalam suatu hubungan sosial. Dai sebagai pihak yang mengerti arah tujuan dakwah ,adalah pihak yang di tuntut untuk lebih aktif dan progresif untuk mempererat hubungan tersebut. Pendekatan dakwah melalui hubungan sosial, demi menghilangkan kecurigaan-kecurigaan tak beralasan. Dai harus mengerti bahwa madu memiliki hak untuk di datangi,didekati dan diakrabi dengan cara-cara persuasif.
            Dari persepektif teori komunikasi tentang kaidah kesalingtergantungan,kesadaran dai dan hak untuk menyampaikan dakwah . bahwa mad’u juga memiliki hak untuk dipahami secara empati dan simpati menjadi suatu kemestian yang mutklak.tujuan yang ingin dicapai dari penunainan hak ini adalah menjaga suasana kejiwaan  madu agar tetap betah berada di dalam ruang proses komunikasi dakwah untuk tempo yang cukup panjang.
            Dai dituntut untuk mampu menjaga gengsi dan harga diri mad’u, serta dilarang keras berkata-kata yang dapat melukai hati atau merendah kan diri mereka yang dapat menghilangkan selera atau bahkan keberlanggsungan untuk berkomunikasi.


BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
            Dalam pelaksanaan kegiatan berdakwah maka diperlukannya dai dan mad’u. Jika hanya ada salah satu maka unsur dalam dakwah belom terpenuhi. Dakwah didalamnya terdapat yang menyampaikan, yang disampaikan serta objek sebagai penerima penyampaian. Maka dari itu seorang da’i atau mubaligh sebelum berdakwah hendaknya mlengkapi diri dengan pemahaman tentang masyarakat atau mad’u agar dakwah yang disampaikan  lebih terarah dan mengenai tujuan dengan tepat dan tepat sasaran.
            Mad’u sebagai sentral dakwah merupakan orang menjadi sasaran dakwah. Agar dakwah yang kita sampaikan tidak sia-sia maka berdakwah harus bisa pada tepat sasaran dan dengan metode yang tepat pula. Penyampaian materi bukan hanya tentang benar atau salah saja akan tetapi dalam penyampaiannya materi juga perlu dilihat kondisi masyarakatnya. Aspek yang dapat dilihat dari masyarakat adalah dari hal kehidupan sehari- hari mereka, kehidupan ekonomi mereka, pengetahuan mereka, keadaan psikologi masyarakat serta memperhatikan problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Jika para da’i mampu memahami sasaran mad’u maka hampir bisa dipastikan dakwah bisa berjalan dengan sesuai tujuan hampir berhasil. 










DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Dr. A. Ilyas M A., dan Hotman, Prio M A. Filsafat Dakwah : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana Group, 2013), Cet. Kedua
 

Komentar

Postingan Populer