tingkah laku keagamaan yang menyimpang
TINGKAH
LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
(Makalah untuk Memenuhi Tugas
Psikologi Dakwah)
Dosen Pembimbing:
Dra. Nasichah, M.A
Disusun
Oleh:
Musholia
Muniarti 11130350000104 (Kelas MD 3C)
Zulfa Aenun Nisa 11150530000064 (Kelas MD 3B)
Burhanudin Hidayat 11150530000048 (Kelas MD 3B)
M. Haikal Muhtadi 11150530000051 (Kelas MD 3B)
Medyanto Pangestu
11150530000043 (Kelas MD 3B)
JURUSAN
MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS
ILMU DKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
M / 1438 H
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan bagi pembaca dalam TINGKAH LAKU KEAGAMAAN
YANG MENYIMPANG ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami
sangat berterima kasih kepada Ibu Nasichah
selaku dosen Psikologi Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Harapan
kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Ciputat, 02 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
COVER i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Masalah 1
BAB
II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Perilaku Menyimpang 2
B. Aliran Klenik 3
C. Konversi Agama 4
D. Konflik Agama 7
E. Fatalisme 9
BAB
III : KESIMPULAN
A. Kesimpulan 11
B. Saran 11
DAFTAR
PUSTAKA 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sosial dikenal bentuk
tata aturan yang disebut norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan
nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur tingkah laku sosial. Jika tingkah
laku yang diperlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku
tersebut dinilai baik dan diterima. Sebaliknya jika tingkah laku tersebut tidak
sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku dimaksud
dinilai buruk dan ditolak.
Tingkah laku yang menyalahi norma
yang berlaku disebut dengan tingkah laku yang menyimpang. Penyimpangan tingkah
laku ini dalam kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan
masyarakat. Kasus-kasus penyimpangan tingkah laku tak jarang pula berlaku pada
kehidupan manusia sebagai makhluk individu maupun sebagai kehidupan kelompok
masyarakat. Dan dalam kehidupan masyarakat bergama penyimpangan yang demikian
itu sering terlihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Dengan
melihat dari latar belakang diatas, maka pemakalah akan membahas tentang
tingkah laku keagamaan yang menyimpang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud tingkah laku keagamaan yang menyimpang?
2.
Apa yang dimaksud dengan aliran klenik, konversi agama, konflik agama,
fatalisme?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka diperoleh tujuan sebagai berikut:
1. Memahami pengertian serta landasan
teori penyimpangan perilaku keagamaan yang menyimpang.
2. Mengetahui maksud dengan aliran
klenik, konversi agama, konflik agama, fatalisme
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang ialah perilaku yang
tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok.
Perilaku menyimpang disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang
disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak
sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan
nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.[1]
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi
norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari penduduknya, menjadi
beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup (kelompok), norma
masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian, norma keagamaan
merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku
keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai
luhurnya pada ajaran agama.
Menurut Kasmiran, menurut sifat dan
sumbernya norma itu dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Tradisional
Tradisi merupakan norma yang proses
perkembangannya berlangsung secara otomatis dan nila-nilai yang membentuknya
berasal dari bawah. Karena proses perkembangannya cukup lama, sehinnga sering
tidak diketahui lagi sumber serta alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu
dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan,
terkandung dibela secara fanatik, sehingga orang menjadi takut jika tidak
melakukannya. Norma yang dalam tradisi semacam ini menurut Kasmiran Wuryo,
tidak lagi bersifat rasional melainkan sudah bersifat tradisional dogmatic dan
supernatural.
2. Formal
Norma ini melalui pembentukan dari
atas dan bersumber dari berbagai ketentuan formal yang berlaku di masyarakat.
Sumbernya dapat berupa undang-undang peraturan ataupun kebijaksanaan formil
dari pengusaha masyarakat yang materinya merupakan norma yang dijadikan tolok
ukur salah benarnya tingkah laku dan kehidupan masyarakat.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa,
baik norma tradisional maupun formal bersumber dari nilai-nilai luhur yang
diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur tingkah laku. Dalam masyarakat
beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun diyakini
norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari nilai-nilai
luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang bagaimanapun,
bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari
norma-norma yang berlaku.[2]
B.
Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung
rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat,
umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering
dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan guna-guna atau
kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.[2]
Salah satu aspek dari ajaran agama
adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi penganut agama masalah yang
berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan
yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut
kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki batas dan
indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emoosional dan cenderung berada
di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalm bentuk
kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui
kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan
sesuatu yang sakral.
Masalah yang menyangkut sesuatu yang
gaib dan nilai-nilai sakral keagamman ini dalam kehidupan masyarakat sering
pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan
kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai kemampuan luar biasa dan dapat
berhubungan dengan alam gaib.
Dalam kenyataan di masyarakat
praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1.
Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2.
Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3.
Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4.
Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5.
Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
C. Konversi Agama
Secara etimologi konversi berasal
dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat, pindah, dan berubah (agama).
Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris Conversion yang mengandung
pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain
(change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti
kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung
pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama
atau masuk ke dalam agama.[3]
Sedangkan menurut terminologi
pengertian konversi agama seperti yang dikemukakan oleh Max Heirich. Ia
mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau
sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku
yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
Konversi agama banyak menyangkut
masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi
agama yang dimaksudkan uraian diatas memuat beberapa pengertian dengan
ciri-ciri:
1.
Adanya
perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan
yang dianutnya.
2.
Perubahan
yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi
secara berproses atau secara mendadak.
3.
Perubahan
tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke
agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang
dianutnya sendiri.
4.
Selain
faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkab faktor
petunjuk dari Yang Mahakuasa.
Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Para ahli agama menyatakan, bahwa
yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Ilahi.
Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi
agama pada diri seseorang atau kelompok.
Sedangkan para ahli sosiologi
berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh
sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari
adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan
yang bersifat keagamaan maupun nonagama.
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari
orang-orang yang dekat.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan
hobi.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Lain halnya dengan para ahli
psikologi, mereka berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi
agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern
(kepribadian, pembawaan) maupun ekstern (keluarga, lingkungan tempat tinggal,
perubahan status, kemiskinan). Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi
seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka
akan terdorong untuk mencari jalan ke luar yaitu ketenangan batin.
Satu lagi pendapat dari para ahli
ilmu pendidikan yang menyatakan bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi
pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa
suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama.
Proses Konversi Agama
Proses konversi agama ini dapat
diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan
pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain yang sama dengan
bangunan sebelumnya. Jadi bila pada seseorang atau kelompok, konversi agama
seperti perubahan dari segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama,
seperti harapan, rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi
berlawanan arah.
Perasaan yang berlawanan itu
menimbulkan pertentangan dalam batin, sehingga untuk mengatasi kesulitan
tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya apabila gejala tersebut
sudah dialami oleh seseorang atau kelompok maka dirinya menjadi lemah dan
pasrah atau pun timbul semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari
pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila
yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan
hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga ia
merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
M.T.L.
Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsur, yaitu:
1.
Unsur
dari dalam diri, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau
kelompok.
2.
Unsur
dari luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri seseorang atau
kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang
bersangkutan.
Perubahan yang terjadi tetap melalui
proses pentahapan dalam bentuk kerangka proses secara umum. Kerangka prose situ
dikemukakan antara lain oleh:
a.
H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1.
Terjadi
disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang
dialami.
2.
Reintegrasi
kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
3.
Tumbuh
sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
4.
Timbul
kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
b. Dr. Zakiah Daradjat memberikan
pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap,
yaitu: masa tenang, masa ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan
tenteram dan terakhir masa ekspresi konversi.
Jadi pada dasarnya proses konversi
agama berlangsung secara bertahap. Dan secara umum bisa digambarkan dari
seseorang atau kelompok yang semula tenang dalam artian acuh tak acuh terhadap agama
yang dianutnya hingga kemudian muncul masalah baru yang menyebabkan adanya
goncangan batin. Ia merasa tidak yakin dengan keyakinan yang ia anut hingga ia
menemukan keyakinan baru dan dengan keyakinan yang baru itulah ia mulai
menemukan ketenangan. Dengan ketenangan yang diperolehnya dari keyakinan baru
tersebut ia akan mengungkapkan sikap menerima dan mengikuti keyakinannya itu.
Segala perbuatannya didasarkan pada keyakinan baru yang ia yakini.
D. Konflik Agama
Konflik agama sebagai perilaku
keagamaan yang menyimpang, dapat terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai
ajaran agama itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan”
nilai-nilai ajaran agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang
dilakukannya. Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan
nila-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab dan
pengaruh yang melatar belakanginya.[4]
1.
Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam
cenderung mendahulukan emosi ketimbang nalar. Kondisi ini, member peluang bagi
masuknya pengaruh-pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama.
Apabila pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik
dapat dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam
akan berpeluang diadu-domba.
2.
Fanatisme
Dalam kehidupan masyarakat,
ketaatan beragama cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan.
Pemahaman yang demikian itu akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga
menganggap agama yang dianutnyalah yang paling benar.
3.
Agama sebagai Doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat,
bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang
demikian, membuat ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada
munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif.
Kondisi seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang dapat
mengganggu hubungan antarsesama umat beragama.
4.
Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama
ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati
(supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon ritual, orang-orang suci,
tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun agama bermacam-macam, namun
komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian, selain merupakan
keyakinan, agama juga mengandung symbol-simbol yang oleh penganutnya dinilai
sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.
5.
Tokoh Agama
Sebagai pemimpin agama, dia mampu
mengobarkan atau menentramkan emosi keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi
konflik sosial, yang kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut
agama yang berbeda, maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut
terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalaulah hal seperti itu terjadi, maka
dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.
6.
Sejarah
Dalam konteks penyiaran agama,
“kufr” sering diaplikasikan sebagai “lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi
“musuh agama”. Dalam pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman
menjadi abash untuk diperangi.
Latar belakang sejarah agama,
umumnya menimpan kasus-kasus seperti ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem
yang seperti itu, pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial,
kadang-kadang muatan sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat
menyulut terjadinya konflik.
7.
Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan
kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah kematian, yaitu surge dan
neraka. Semua manusia pasti berharap akan masuk surge. Dalam upaya memperoleh
“tiket” surge, seseorang meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Sayangnya dalam kehidupan beragama,
sering terjadi kebalikannya. Peta dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan
mengorbankan kelompok lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau
kelompok lain. Barangkali usaha untuk memperebutkan akan surge akan timbul
bukan saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa
terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim
sepihak, maka konflik pun tidak akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan
menumbuhkan rasa permusuhan.
E. Fatalisme
Dalam kenyataan, umumnya
nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi” hingga melahirkan pemeluk yang
fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan
direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk
menjadi kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan sebagai
“gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.[5]
Secara psikologis, ada beberapa
faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism, yakni:
1.
Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para
agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun
kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya
“salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah
rasul.
2.
Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada
pemimpin agamayang jadi panutan masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai
sering dianggap sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan
dan bila perlu ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang
dengan menggunakan otoritas yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada
upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk
“menyihir” pengikutnya. Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa
yang bila dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula
janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada
mereka yang patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan situasi
psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :
1.
Adanya
kemampuan lingkungan menarik perhatian
2.
Terjadinya
konversi agama
3.
Karena
pengaruh status social.
B.
Saran
Masalah
perilaku menyimpang merupakan sebagian masalah-masalah sosial yang dihadapi
masyarakat dan sudah lama menjadi bahan pemikiran. Maka penanggulangan masalah
perilaku menyimpang ini perlu ditekankan bahwa segala usaha harus ditunjukan
kearah tercapainya kepribadian yang mantap, serasi dan dewasa. Remaja
diharapkan menjadi orang dewasa yang berkepribadian kuat, sehat jasmani,
rohani, kuat iman sebagai anggota masyarakat, bangsa dan tanah air.
Dari
sekian banyaknya contoh-contoh dari perilaku menyimpang di kehidupan sekitar.
Kita sebagai manusia yang memiliki akal harus bisa memilah-milah mana yang baik
dan mana yang tidak. Perlu pembekalan mental yang kuat bagi individu terutama
para remaja agar tidak terjerumus dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yg
kuat individu tidak akan mudah terjerumus dalam penyimpangan tersebut tidak
terjerumus dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yg kuat individu tidak
akan mudah terjerumus dalam penyimpangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin.
Psikologi Dakwah. 2004. Jakarta ;Bumi Aksara,
Jalaluddin.
Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Muchsin Efendi, Lalu & Faizah. Psikologi Dakwah. 2006. Jakarta: Kencana
[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2005),
hlm. 267.
[2] Jalaluddin, Psikologi Agama..............hlm.
269
[3] Jalaluddin, Psikologi
Agama..............hlm. 273
[4] Jalaluddin, Psikologi
Agama..............hlm. 288
[5] Jalaluddin, Psikologi
Agama..............hlm. 317
Komentar
Posting Komentar