islam dan isu gender



ISLAM DAN ISU GENDER
Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Studi Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Sihabuddin Noor, M.A


Disusun oleh :

Zulfa Aenun Nisa                  (11150530000064)
Istiqomah Ad Dien                (11150530000061)
Feby Rachman                      (11150530000055)

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH (2B)
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan Karunia, Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah yang berjudul
ISLAM DAN ISU GENDER ‘ dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabat serta tak lupa pula kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir zaman. Aamiin.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Studi Islam. Kami  berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bisa memberikan informasi mengenai Islam dan Isu Gender dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
a.         Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
b.         Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
c.          Tujuan Masalah ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
a.       Pandangan tradisional antara perempuan dan laiki-laki ......................................... 2
b.      Gerakan Feminimisme............................................................................................. 3
c.       Kesetaraan Gender dalam Islam  ............................................................................ 4
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan ...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku.  Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.
Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan.  
Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan  keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).

B.     Rumusan Masalah

1.Apa Pandangan tradisional antara perempuan dan laiki-laki
2. Bagaimana gerakan Feminimisme
3. Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Islam
C.  Tujuan Masalah  
1. Untuk mengetahui Pandangan tradisional antara perempuan dan laiki-laki
2. Untuk mengetahui Bagaimana gerakan Feminimisme
3. Untuk mengetahui  Kesetaraan Gender dalam Islam





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Tradisional Dalam Hubungan Antara Laki-Laki Dan Perempuan   

Allah menciptakan perempuan dan laki-laki setara mereka diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya. Kenyataannya bahwa hampir semua kaum muslimin percaya bahwa perempuan pertama(Hawwa) dari tulang rusuk adam, secara praktisi menunjukan bahwa kepustakaan hadist telah menggantikan tempat ajaran Al-Qur'an paling kurang sejauh menyangkut isu penciptaan perempuan. Sementara semua umat islam menypakati bahwa apabila sebuah hadist yang dinisbatkan kepada Nabi bertentangan dengan A-Qur'anharus ditolak. Dalam islam ada keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk derivative yang tidak akanpernah bisa dianggap setara dengan laki-laki. Bahkan perempuan yang berani memimpin gerakan dalam masyarakat muslim yang menindas dengan atas nama islamisasi agar menunjukan kearah yang lebih rendah mereka inilah yang menetang pemahaman tentang kedudukan perempuan. Hawwa yang muslim bahwa sejarahpenundukan dan penghinaan mereka ditangan putra-putra Adam bermula dari penciptaan Hawa dan bahwa masa depan mereka tidak akan berbeda dari masa lalu nenek moyang mereka. Pandangan orang tradisional adalah bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah yang tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin.Dan perempuan tidak boleh bertindak sesuka hati tanpa persetujuan dari pihak laki-laki.Karena apabila hal ini dilakukan maka perempuan dianggap sebagai penentang.
 Suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Setreotipe ini biasa juga menjadi pedoman atau norma yang secara tidak lagsung diterapkan oleh berbagai masyarakat. Contoh streotipe ialah wanita perokok itu dianggap pelacur, ppadahal belum tentu ia pelacur pandangan yang seperti inilh yang selalu menyudutkan kaum wanita.  Semenjak adanya pandangan mengenai streotipe ini menjadiakn suatu belenggu pada kaum wanita. 
a)      Isu gender Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan Hukum Waris)
            Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam.Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku. Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat  dalam kaitan dengan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
b)      Isu gender Dalam Perundang-Undangan Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.

B.     Gerakan Feminimisme
             Fundamentalis adalah  kembali kepada masa keemasan Islam, maka perempuan Muslim berpendapat bahwa  mereka memiliki banyak alasan untuk optimis dan banya ruang untuk bergerak. Lebih jauh lagi, banyak perempuan Muslim yang berpendidikan tinggi  dan pandai mengartikulasikan pendapat menganggap feminimisme Barat sebagai  contoh yang layak dikasihani  dan tidak patut diikuti. Mereka tidak hanya menolak feminimisme Barat karena merupakan salah satu dari sekian banyak alat kolonialisme,  tetapi juga menganggap rendah berbagai macam  kebebaan yang diberikan kepeada perempuan di Timur.[1] Sebaliknya perempuan Islamis berpendapat bahwa mereka dapat memetik keuntungan  kembali kepada dapat memetik keuntungan  kembali kepada sumber-sumber Islam. mereka berpendapat bahwa diktum Islam menganugrahkan komplemantaritas pada perempuan, sebagai umat manusia, sebagai mitra sederajat laki-laki dan perempuan. Mereka berpendapat bahwa Islam menuntut penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan dan menawarkan kepada mereka untuk menjadi terpelajar
            Kaum wanita berikut segenap gagasan dan keberhasilan mereka menjadi bagian dari kesadaran orang terdidik, perubahan-perubahan yang mempengaruhi kaum wanita yang baik secara langsung maupun tidak langsung baik yang tampak maupun yang subtil seperti gaya busana, variasa gaya hijab. Pada sekitar tahun 1910, penanggalan hijab menjadi sangat meningkat di Mesir.Bagi mereka para kaum wanita di Mesir kehidupan sastra, intelektual, dan sosial wanita merupakan satu periode yang membuka vitalitas, dengan wujud mulai banyaknya aktivisme feminimisme.
            Seperti halnya teori politik, perempuan islamis mengalami kesulitan namun mereka tetap berdiri tegak dalam ujian waktu. Meskipun islam telah menyediakan ruang bagi perempuan, namun sulit bagi mereka di Barat untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak mereka. Sekelompok perempuan mendukung revolusi Islam di Iran bukan kekecualian dari aturan ini. Republik islam mengeluarkan serangkaian undang-undang, putusan dan aturan misoginis ( bersifat membenci perempuan). Dalam hal ini  para hakim perempuan diberhentikan.  Didalam Al-Quran kesaksian dua orang perempuan disamakan dengan satu laki-laki. Didalam Republik Islam menggunakan hukum Qishas tetapi pembunuh juga bisa memilih untuk membayar diyyah. Bagi mereka membunuh seorang laki-laki adalah sebuah kejahatan besar dan dapat dikenakan hukum mati. Sedangkan membunuh seorang wanita adalah tindakan kejahatan yang ringan. Yang lebih buruk lagi, para ayah, yang diakui sebagai wali mempunyai hak atas kehidupan dan kematian anak-anak mereka.
            Dengan adanya kedatangan Republik Islam, kecuali hak suara, perempuan Iran kehilangan  semua hak yang meraka perjuangkan selama lebih dari satu abad. Namun bagi perempuan Iran mereka tidak takut serangan gencar patriaki ini, karena patriaki ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu atau lebih. Meskipun sebagaian mereka tunduk pada tekanan Republik Islam, namun masih banyak yang tegar. Hanya perempuan yang saleh dan dan taat yang bisa melawan tuntutan atas mereka oleh Republik Islam. Karena, sifat Islamik wacana politik nasional, yang meletakan pemerintah sebagai pembela keimanan, maka perempua dapat menuntut Republik Islam bertanggung jawab karena gagal menunaikan kewajiban-kewajiban Islamnya. Bagi perempuan Iran, revivalisme Islam hampir secara harfiah bererti utusan Tuhan. Perempuan Iran berjuang melawan marjinalisasi politik, hukum dan ekonomi. Mereka menggunakan petunjuk Al-Qur’an bahwa setiap Muslim harus terpelajar, perempuan akhirnya berhasil menyingkirkan banyak penghalang yang diletakan di atas jalan yang menjadikan mereka terdidik. Pada permulaanya, Republik Islam melarang perempuan  mengikuti 54 persen subjek. Secara perlahan dan menyakitkan perempuan memerangi kemunduran ini. Mereka mampu mendapatkan kuota-kuota khusus dalam akademik dalam beberapa subjek. Mereka paling berhasil dalam bidang kedokteran.
            Perempuan yang terdidik pada era kesetaraan pada masa pra revolusi sekarang mendapat gaji yang tinggi dan banyak mengelola bisnis mereka sendiri dalam sektor swasta.[2] Sekolah-sekolah swasta dengan mudah menentang hukum pemisahan gender dan memperkerjakan guru sains dan matematika pria untuk mengajar para gadis. Akibatnya, gadis-gadis Iran secara bertahap menduduki rangking tinggi dalam ujian masuk universitas dalam kebanyakan subjek.
 Beberapa para pemimpin feminisme yang terkemuka adalah Huda Sya'rawi pada 1920-an dan 1930-an dan Mai Ziyadah yang merupakan seorang intelektual dan penulis feminis. Organisasi lainnya pun menyusul kemudian : Himpunan Kebangkitan-Kembali Wanita Mesir, Himpunan Ibu-ibu Masa Depan, Himpuan Wanita Baru.   Pada tahun 1910-an merupakan tahun yang penuh pergolakan politik dan agitasi menentang Inggris, dalam hal ini didalamnya baik wanita dari kelas atas maupun kelas jelata ikut ambil bagian didalamnya dengan melakukan protes secara terbuka bahwa mereka menentang, bahkan murid-murid perempuan pun mereka berdemonstrasi dan mengirimkan telegram yag berisi protes terhadap Perdana Menteri.
            Selama tiga dekad pertama abad, feminisme tampak secara intelektual, organisasional dan politis.Mulai banyak bermunculnya wacana feminis, artikulasi analisis feminis pertama yang komplek dan tajam dalam karya Malak Hifni Nassef. Ketegangan akibat kriris juga muncul dari dua aliran feminimisme yang berbeda, feminimisme dominan di Mesir dan di Timur Tengah Arab dan kedua merupakan suara alternative, marginal hingga dekade-dekade  akhir abad itu, yang bahkan tidak dikenal sebagai suara feminimisme. Keberhasilan organisasional dan politik gerakan feminisyang dipimpin oleh Huda Sya'rawi dan anggota Himpunan Feminis Mesir(HFM). Feminimisme Sya'rawi secara politik bercorak nasionalistik, ia menentang dominasi Inggris dalam hal intelektual dan bukan juga menentang Inggris dalam sesuatu yang berbau baratyang diungkapkan oleh kelompok tertentu.
Ketika Sya'rawi mendukung feminimisme yang berkiblat ke Barat, pada 1900-an  dan 1910-an, Malak Hifni Nassef tengah mengartikulasikan basis feminimisme yang tidak secara otomatis mengklarifikasikan dirinya dengan westernisasi. Nassef menentang penggalan hijab, dan pandangan-pandangannya dalam masalah ini menampakan perbedan-perbedaan antara prespektifnya tentang feminimisme dan kebudayaan dan prespektif Sya'rawi  dan juga kepekaan ketajaman pemikiran Nassef dan ketepatan pemahamannya tentang berbagai ragam baru dominasi lelaki yang ditetapkan dalam dan melalui wacana kaum lelaki kotemporer tentang hijab.[3]
            Sya'rawi dan Nassef sama-sama menyerukan agar masyarakat memungkinkan kaum wanita beroleh pendidikan sesuai dengan kemampuan mereka, dan keduannya disedak untuk mengadakan berbagai pembaruan fundamental dalam hukum-hukum yang mengatur perkawinan.Sesungguhnyalah tidak ada perbedaan substantive dalam berbagai tujuan mereka. Nassef tidak kalah berkepedulian untuk mengubah secara fundamental posisi dan hak- hak kaum wanita dalam masyarakat, sekalipun ia berhati-hati pada Barat, merasa puas di, dan berakar kuat dalam wilayah bahasa arab dan kebudayaan Arab, dan ingin mengadakan pembaruan berkenaan dengan kebudayaan pribumi. Sebagai seorang anggota dari kelas menengah atas, Nassef dibesarkan dalam keadaan pribumi barangkali secara tidak lazim dikalangan kelas atas dan menengah. Sementara sya'rawi dibesarkan sebagai orang yang berada dalam dua kebudayaan, dengan kebudayaan prancis, sekurang-kurangnya sejak usia belasan tahun, dengan menerima tekanan dan valorisasi lebih berat ketimbang bahasaArab.
C.        Kesetaraan Gender dalam Islam
            Islam sama sekali tidak menempatkan perempuanpada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi subtansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya Al Qur’an dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dengan posisi dan kedudukan laki-laki. Dengan kata lain, Islam benar-benar menunjukkan dengan adanya kesetaraan gender dan tidak menghendaki dan ketidakadilan atau ketimpangan gender.[4]
            Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Faktor utama penyebab kesenjangan gender adalah tata nilai soaial budaya masyarakat,pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia. Kesetaran gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-lakimaupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuanmaupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpatisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengemukakan ada beberapaukuranyang dapat digunakan sebagai pedoman dalammeliohat prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al Qur’an. Ukuran-ukuran tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah  satu tujuanpenciptaan manusia adalah untukmenyembah kepada Tuhan (QS. Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk  menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan  jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (QS. Al-Nahl/16:97).
2.      Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, selain untuk menjadi hamba yang tunduk danpatuh serta mengabdi kepada Allah swt, juga untukmenjadi khalifah di bumi (QS. Al-An’am/6:165). Kata khalifah, tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas mereka kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
3.      Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS.Al-A’raf/7:172). Tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikarar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan “tidak”. Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu sejak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
4.      Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti  untuk dua orang yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini:
Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-Baqarah/2:35), keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (QS. Al-A’raf/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dankeduanya menerima akibat jatuh ke bumi (QS. Al-A’raf/7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-A’raf7/:23), setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah/2:187). Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap drama komis tersebut. Jadi, tidak dapat dibenarkan jika ada anggapan yang menyatakan perempuan sebagai makhluk penggoda yangmenjadi sebab jatuhnya anak manusia ke bumi penderitaan.
5.      Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat Al Qur’an (QS. Ali Imran/3:195, QS. Mu’min/40:40). Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.[5]


BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Pengaplikasian gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam menyongsong era globalisasi dewasa  ini. Direalisasikan atau tidaknya pengintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak di tentukan oleh guru dan bagaimana cara guru mengintegrasikannya. Oleh sebab itu apa yang diharapkan terjadi pada siswa harus di sadari sepenuhnya, perlu di rencanakan, diprogramkan dengan baik serta dilaksanakan dengan konsekuen dan konsisten sebab proses pembelajaran serta segala aktivitas yang terjadi dan dialami oleh tiap anak akan turut juga membentuk jiwa, sikap dan kepribadiannya kelak. Memang pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah. Namun demikian, pembentukan wawasan (kognitif), sikap(afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang berlangsung di kelas menjadi tanggung jawab guru. Karena itu para guru diharapkan membantu membangun jiwa dan keperibadian anak untuk menghadapi era globalisasi mengingat perempuan juga punya potensi dan dapat diandalkan.
Pengaplikasian gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam menyongsong era globalisai dewasa ini. Direalisasikan atau tidaknya pengintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak ditentukan oleh guru dan bagaimana guru dapat mewujudkan dalam contoh kongkretnya.


DAFTAR PUSTAKA
Mernisi, Fatima.2000.Setara di Hadapan Allah.Yogyakarta : Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak
Ahmed, Leila.2000.Wanita dan Gender dalam Islam.Jakarta: PT Lentera Basritama

Yamani, Mai. 2000. Feminimisme & Islam. Penerbit Nusantara : Bandung
Achmad Muthali’in, 2001. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Abdullah Amin, 2004. Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam. kerja sama UIN Kalijaga Yogyakarta dengan McGill- IAIN – Indonesia Social Equity Project
Halim Abdul, 1991. Kebebasan Wanita jilid 5. Jakarta : Gema Insani Press
Stowasseer, Barbara Freyer.2001. Reinterprestasi Gender. Bandung: Pustaka Hidayah



[1]  Zaenab al-Ghazali, ayam min hayati (Kairo : Dar al-Shurua, 1988), didalam buku Yamani, Mai. Feminimisme & Islam.2000. Penerbit Nusantara : Bandung
[2]  Afshar, “Women and Work” dalam buku Yamani, Mai. Feminimisme & Islam.2000. Penerbit Nusantara : Bandung
[3]Ahmed, Leila.2000.wanita dan gender dalam islam.Jakarta: PT.lentera basithama. Hal.242-243
[5]ppm-keadilan-dan-kesetaraan-gender.pdf



 



Komentar

Postingan Populer